Friday, November 30, 2007

Soal Ujian Nasional dan Kelulusan, Guru Dipaksa Jadi Pengkhianat

Coba pikir apa untung-nya kalau tidak membantu meluluskan siswa. Pikir pula apa ruginya membantu meluluskan siswa. Demikian inti pembicaraan yang dilontarkan Kepala TU baru di sekolah kepada saya diselah waktu istirahat pertama.

Kepala TU di sekolah saya yang baru ini sebelumnya adalah kepala TU di sekolah yang sebelumnya tahu persis triks sekolahnya sehingga semua siswa lulus ujian nasional. Prinsipnya yah seperti tulisan di alinea awal tulisan saya ini.

Dia cerita dampak positif setelah sekolahnya lulus 100% awal tahun ajaran kemarin pendaftar di sekolah tersebut membludak yang biasanya hanya 60% dari jumlah yang barusan. Dampak negatifnya tidak terlihat dia bilang tidak ada. Iya tidak terlihat seketika itu. Ini dipandang keberhasilan sekolah di mata sang kepala TU tadi. Sementara sekolah yang terpandang karena cukup banyak tidak meluluskan siswa, jumlah pendaftarnya menurun. Para orang tua pun tidak ingin sampai anaknya tidak lulus karena para guru tidak mau membantu meluluskan.

Saya tidak kalah sengit menanggapinya, lah kami yang hari-hari mengajar kan untuk membuat otak siswa berisi, lah kok siswa yang otaknya kurang berisi dibantu diluluskan juga, maunya apa coba, di mana letak keadilannya. Seperti saya mengajar kimia, menemui siswa di kelas X ternyata diminta menghitung pembagian suatu angka untuk perhitungan pada konsep mol yang sederhana saja mereka gak bisa. Inilah akibat hasil pengkhianatan di sekolah saat kelulusan di level SMP itu. Kalo memang semua bisa diakali dengan cara seperti itu yah sudah gak usah ngajar serius saja. Kemudian masalah tidak jujur, saya pikir benar juga, hampir semua lini yang ada di Indonesia semuanya selalu ada ketidakjujuran.

Rupanya pandangan yang seperti itu kebanyakan juga ada di benak para kepala sekolah, para kepala dinas, bahkan juga kepala daerah. Pernah suatu ketika dalam rapat koordinasi dengan seluruh kepala sekolah di suatu kabupaten seorang kepala dinas pendidikan dan pengajaran menyampaikan keinginannya agar semua kepala sekolah bisa “meningkatkan tingkat kelulusan disekolahnya masing-masing”, tanpa ada penjelasan lebih lanjut dengan cara apa. Lalu hal ini ditafsirkan keliru oleh para kepala sekolah. Ditindaklanjuti dengan “pembentukan tim sukses busuk” yang mengharuskan guru terlibat untuk tindak busuk itu juga. Ada yang terang-terangan membentuk tim sukses ada yang tidak langsung.

Inilah kebohongan berjenjang yang berkaitan dengan ujian nasional dan kelulusan. Guru pun beberapa di antaranya mau juga jadi pengkhianat. Alasannya ini karena keterpakasaan itu. Demikianlah pengakuan beberapa guru. Inipun melanda tidak hanya sekolah-sekolah umum, tetapi terjadi juga di madrasah-madrasah. Padahal kebanyakan guru di madrasah itu adalah yang mengerti akan hitam-putih dalam berprilaku yang dilakukan saat ujian nasional. Mereka itu kesehariannya mengajarkan persaoalan agama, tiap Jum’at berkotbah di atas mimbar jum’at. Tapi toh tetep saja mau melakukan tindak dalam hal ujian.

Mereka berpikir keliru, berpikiran sempit. Lho ini membantu siswa. Kalau siswa tidak dibantu sementara kinerja guru gak beres juga, bahkan kadang mengajar tidak serius, sesekali ijin gak bisa ngajar karena urusan anak sakit atau dirinya sakit. Bahkan mereka mempertanyakan apakah kerja kita sudah bagus sehingga mau membiarkan siswa tidak lulus ujian. Lalu apakah kita mau melimpahkan kesalahan kita yang tidak mengajar secara serius kepada anak-anak. Yang akibatnya siswa tidak bisa mengerjakan soal saat ujian akhir itu.

Inilah yang dijadikan pembenaran tindakan membantu kelulusan saat ujian nasional itu. Lalu saya tanggapi, apakah kinerja guru pernah diukur sehingga mengatakan kinerja guru gak bagus, apakah kinerja yang gak bagus itu semua guru dalam satu sekolah. Padahal kinerja guru itu bukanlah faktor utama dalam penentuan kelulusan murni. Keadaan input yang tidak memenuhi syarat, kondisi lingkungan, terbatasnya sarana belajar, dan masyarakat juga punya andil toh.

No comments: